RAN-KSB: Peta Jalan Pemerintah Menuju Sawit Berkelanjutan Indonesia

Infografis RAN-KSB 2019–2024 dengan lima pilar utama, tantangan, dan kolaborasi menuju sawit berkelanjutan Indonesia.

Bab 1: Menelusuri Peta Jalan Sawit Indonesia: Pengantar RAN-KSB

1.1. Posisi Kelapa Sawit dalam Arsitektur Ekonomi Nasional

Industri kelapa sawit memegang peranan krusial dan strategis dalam perekonomian Indonesia. 

Sebagai produsen minyak sawit terbesar di dunia, sektor ini memberikan kontribusi yang signifikan terhadap produk domestik bruto (PDB) dan menjadi salah satu sumber devisa utama bagi negara. 

Pada tahun 2023, ekspor minyak sawit Indonesia mencapai 27.5 juta ton dengan nilai USD 24 miliar. 

Industri ini juga merupakan tulang punggung mata pencaharian bagi jutaan masyarakat, dengan perkiraan 16 juta orang terlibat dalam kegiatan on-farm dan off-farm. 

Sektor ini tidak hanya menopang ekonomi makro, tetapi juga menjadi sumber penghasilan langsung bagi sekitar 4.6 juta pekerja dan 2.4 juta petani swadaya beserta keluarganya.

Meskipun memiliki peran ekonomi yang vital, industri kelapa sawit Indonesia menghadapi berbagai tantangan kompleks yang mendalam. 

Isu-isu seperti produktivitas yang rendah di kalangan petani kecil, masalah legalitas dan status lahan, degradasi lingkungan, hingga hambatan non-tarif di pasar global menjadi sorotan utama. 

Kondisi ini menuntut adanya sebuah kerangka kerja yang terintegrasi dan komprehensif untuk mendorong praktik-praktik yang lebih berkelanjutan. 

Menjawab kebutuhan ini, pemerintah merumuskan sebuah inisiatif strategis yang dikenal sebagai Rencana Aksi Nasional Kelapa Sawit Berkelanjutan (RAN-KSB).

1.2. Pengertian dan Dasar Hukum RAN-KSB

RAN-KSB didefinisikan sebagai "peta jalan menuju perbaikan produksi kelapa sawit berkelanjutan". 

Dokumen ini menjadi acuan utama bagi berbagai pemangku kepentingan, termasuk pemerintah pusat dan daerah, pelaku usaha (pengusaha dan pekebun), organisasi masyarakat sipil (CSO), dan lembaga pembangunan internasional, dalam mendukung pengembangan kelapa sawit yang berkelanjutan hingga tahun 2024.

Dasar hukum utama yang menjadi landasan RAN-KSB adalah Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 6 Tahun 2019 tentang Rencana Aksi Nasional Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan. 

Inpres ini mengamanatkan pembentukan sebuah peta jalan yang terkoordinasi untuk mengatasi isu-isu tata kelola, produktivitas, dan keberlanjutan. 

Sebuah karakteristik kunci dari RAN-KSB adalah pendekatannya yang multi-pihak. 

Inpres ini secara spesifik menginstruksikan 14 kementerian / lembaga pusat, 26 pemerintah provinsi, dan 217 pemerintah kabupaten di wilayah penghasil sawit untuk mengimplementasikan program-program RAN-KSB sesuai dengan program pembangunan masing-masing. 

Melalui pendekatan ini, RAN-KSB berupaya menyinergikan upaya dari berbagai sektor untuk mencapai tujuan bersama, mulai dari penguatan kapasitas perkebunan hingga penyelesaian masalah legalitas lahan dan pemanfaatan sawit sebagai energi terbarukan.

Infografis peta jalan sawit berkelanjutan Indonesia dengan RAN-KSB sebagai pusat transisi dari praktik konvensional menuju lestari

Bab 2: Lima Pilar Utama RAN-KSB: Fondasi Menuju Keberlanjutan

Kelima pilar RAN-KSB dirancang sebagai sebuah arsitektur kebijakan yang saling terkait dan komprehensif. 

Masing-masing pilar merefleksikan dimensi yang berbeda—ekonomi, sosial, lingkungan, dan tata kelola—yang perlu ditangani secara simultan untuk mencapai keberlanjutan sejati. 

Isu kompleks di sektor kelapa sawit menuntut pendekatan holistik; mengatasi deforestasi saja tidak akan cukup jika tidak ada solusi untuk masalah legalitas lahan dan sengketa sosial. 

Peningkatan produktivitas pekebun tidak akan efektif tanpa data yang akurat dan sertifikasi yang membuka akses pasar. 

Oleh karena itu, kerangka kerja ini sangat bergantung pada koordinasi lintas sektor yang kuat, di mana keberhasilan di satu pilar dapat mendukung kemajuan di pilar lainnya, sementara kegagalan dapat menghambat seluruh upaya.

Berikut adalah rincian dari kelima pilar utama tersebut:

2.1. Pilar 1: Penguatan Data, Koordinasi & Infrastruktur

Pilar ini merupakan fondasi dari tata kelola yang efektif. 

Akurasi data dasar perkebunan kelapa sawit menjadi prioritas utama. 

Program-program di bawah pilar ini mencakup pembinaan penyelenggaraan informasi geospasial tematik, sosialisasi regulasi dan kebijakan, serta peningkatan sinergi antar kementerian, lembaga, dan pemerintah daerah. 

Selain itu, pilar ini juga mengamanatkan pembentukan forum multi-pihak di tingkat provinsi dan kabupaten untuk memfasilitasi dialog dan kolaborasi, serta pembangunan infrastruktur jalan dan peningkatan kepatuhan hukum bagi pelaku usaha.

2.2. Pilar 2: Peningkatan Kapasitas & Kapabilitas Pekebun

Pilar ini berfokus pada peran sentral pekebun swadaya dalam industri sawit. 

Data menunjukkan adanya kesenjangan produktivitas yang signifikan antara perkebunan rakyat yang menghasilkan 2-3 ton CPO per hektar per tahun, dibandingkan dengan perkebunan besar yang mampu mencapai 5-6 ton CPO per hektar per tahun. 

Untuk mengatasi kesenjangan ini, RAN-KSB menguraikan beberapa upaya strategis. 

Program-program yang dirancang meliputi peningkatan kapasitas pekebun dalam penggunaan benih bersertifikat dan penerapan praktik budidaya yang baik (GAP), peningkatan akses pendanaan untuk peremajaan tanaman (melalui program Peremajaan Sawit Rakyat/PSR), percepatan pembentukan dan penguatan kelembagaan pekebun, serta peningkatan penyuluhan pertanian.

2.3. Pilar 3: Pengelolaan & Pemantauan Lingkungan

Dimensi lingkungan adalah aspek kunci dari keberlanjutan. 

Pilar ini mencakup program-program yang bertujuan untuk mengurangi dampak negatif industri kelapa sawit. 

Upayanya meliputi peningkatan konservasi keanekaragaman hayati dan lanskap perkebunan, pencegahan kebakaran kebun dan lahan, penurunan emisi gas rumah kaca (GRK), dan pemanfaatan limbah kelapa sawit sebagai energi terbarukan.

2.4. Pilar 4: Tata Kelola & Penanganan Sengketa

Pilar ini secara khusus menangani isu-isu legalitas dan konflik lahan yang telah lama terjadi. 

Programnya mencakup percepatan realisasi kewajiban perusahaan untuk memfasilitasi pembangunan kebun berkelanjutan bagi masyarakat, penanganan sengketa lahan perkebunan, penyelesaian status lahan yang berada di dalam kawasan hutan, serta legalisasi aset yang berasal dari penyelesaian sengketa. 

Pilar ini juga mengatur peninjauan regulasi ketenagakerjaan dan monitoring pelaksanaan keselamatan, kesehatan kerja (K3), serta jaminan sosial tenaga kerja.

2.5. Pilar 5: Percepatan Pelaksanaan ISPO & Akses Pasar

Pilar terakhir ini berfokus pada sertifikasi sebagai alat untuk meningkatkan kredibilitas dan akses pasar. 

Tujuannya adalah untuk mempercepat pelaksanaan sertifikasi Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) bagi perusahaan dan pekebun. 

Program-programnya meliputi sosialisasi ISPO kepada para pemangku kepentingan nasional serta penyelenggaraan diplomasi, promosi, dan advokasi untuk meningkatkan penerimaan ISPO di pasar internasional.

Diagram lima pilar utama RAN-KSB yang saling terhubung, menekankan kontribusi untuk visi sawit berkelanjutan Indonesia.

Bab 3: Dari Pusat ke Daerah: Implementasi RAN-KSB melalui RAD-KSB

3.1. Sinergi Nasional-Daerah: Peran Vital RAD-KSB

Visi Rencana Aksi Nasional Kelapa Sawit Berkelanjutan (RAN-KSB) diwujudkan di tingkat sub-nasional melalui Rencana Aksi Daerah (RAD-KSB). 

Regulasi nasional, Inpres No. 6/2019, secara spesifik menginstruksikan 14 kementerian/lembaga pusat, 26 pemerintah provinsi, dan 217 pemerintah kabupaten untuk mengimplementasikan program-program RAN-KSB. 

Ini menandakan pentingnya pendekatan yurisdiksi dan kolaborasi multi-pihak di tingkat lokal untuk menerjemahkan kerangka kebijakan nasional menjadi aksi nyata di lapangan.

3.2. Tantangan Kritis Implementasi di Lapangan

Meskipun kerangka kebijakan yang komprehensif telah dirancang di tingkat nasional, implementasi di tingkat daerah menghadapi kesenjangan yang signifikan. 

Terdapat sebuah kontradiksi antara narasi kebijakan yang ideal dengan realitas di lapangan. 

Salah satu persoalan utama adalah kurangnya integrasi RAN-KSB/RAD-KSB ke dalam dokumen perencanaan pembangunan daerah, seperti Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). 

Kondisi ini menciptakan hambatan pendanaan yang serius. 

Sekretariat RAD-KSB seringkali tidak memiliki alokasi anggaran operasional yang memadai, sehingga mereka dianggap sebagai "inisiatif eksternal" dan stafnya tidak diberikan surat tugas resmi (SK) yang membatasi otoritas mereka untuk mengkoordinasi lintas departemen.

Kompleksitas ini diperparah oleh ketidakjelasan masa depan regulasi. RAN-KSB periode 2019-2024 akan berakhir pada akhir tahun 2024. 

Meskipun Menteri Koordinator Bidang Perekonomian telah mengumumkan bahwa Rencana Aksi Nasional ini akan dilanjutkan untuk periode 2024-2029, ketidakpastian hukum yang terjadi selama transisi ini menghambat perencanaan dan implementasi di tingkat daerah. 

Tanpa payung hukum yang diperbarui, upaya-upaya yang telah dibangun berisiko kehilangan landasan legal dan pendanaan. 

Akibatnya, keberhasilan "peta jalan" nasional menjadi tidak optimal jika implementasinya di tingkat lokal mandek.

Peta provinsi dan kabupaten penghasil utama kelapa sawit di Indonesia yang menyoroti pentingnya implementasi kebijakan lokal.

Bab 4: Mekanisme Pendanaan: Memahami Peran Dana Bagi Hasil Sawit (DBH Sawit)

4.1. Pengenalan Dana Bagi Hasil Sawit (DBH Sawit)

Untuk mendukung agenda keberlanjutan di tingkat daerah, pemerintah telah menetapkan sebuah mekanisme pendanaan khusus melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 38 Tahun 2023 tentang Dana Bagi Hasil Perkebunan Sawit (DBH Sawit). 

Tujuan utama dari DBH Sawit adalah untuk mengurangi ketimpangan fiskal antara pemerintah pusat dan daerah serta membantu daerah penghasil mengatasi dampak eksternalitas dari industri sawit. 

Dana ini berasal dari pungutan ekspor dan bea keluar yang dikenakan pada produk minyak kelapa sawit. 

Pada tahun 2023, pemerintah telah menyiapkan alokasi sebesar Rp 3.4 triliun untuk 350 daerah.

Berdasarkan PP No. 38/2023, dana ini didistribusikan kepada daerah penghasil dengan proporsi yang terstruktur. 

Rincian alokasi ini diatur dengan mempertimbangkan luas lahan perkebunan sawit, produktivitas lahan, dan indikator lain yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan.

Kategori Penerima Dana

Persentase Alokasi

Provinsi yang bersangkutan

20%

Kabupaten/Kota Penghasil

60%

Kabupaten/Kota lain yang berbatasan langsung

20%

4.2. Paradoks Alokasi Dana dan Kritik Implementasi

Meskipun DBH Sawit bertujuan untuk mendukung keberlanjutan, mayoritas dananya dialokasikan untuk tujuan yang secara langsung kurang relevan dengan prinsip-prinsip keberlanjutan. 

Hal ini menciptakan sebuah disparitas antara tujuan kebijakan yang ambisius dengan penggunaan dana di lapangan.

Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 91 Tahun 2023, penggunaan dana DBH Sawit diatur secara ketat. 

Paling tidak 80% dari alokasi dana harus digunakan untuk pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur jalan. 

Sementara itu, hanya maksimal 20% yang dapat dialokasikan untuk kegiatan yang lebih spesifik terkait kelapa sawit, seperti pendataan perkebunan, penyusunan RAD-KSB, pembinaan ISPO, dan rehabilitasi lahan.

Kritik terhadap alokasi ini mengemuka, menunjukkan bahwa porsi 80% untuk infrastruktur jalan dianggap terlalu besar. 

Meskipun infrastruktur merupakan bagian penting dari pembangunan, prioritas ini tidak secara langsung mengatasi masalah-masalah inti keberlanjutan seperti deforestasi, konflik sosial, atau peningkatan kapasitas pekebun yang merupakan jantung dari agenda keberlanjutan. 

Disparitas ini mencerminkan orientasi prioritas pemerintah daerah yang mungkin lebih berfokus pada pembangunan fisik yang terlihat, daripada investasi jangka panjang pada tata kelola dan keberlanjutan yang kompleks. 

Tanpa revisi regulasi yang memberikan fleksibilitas lebih besar dalam penggunaan dana untuk kegiatan non-infrastruktur, efektivitas DBH Sawit dalam memajukan agenda sawit berkelanjutan akan terbatas.

Bab 5: Sertifikasi ISPO: Transformasi Tata Kelola Melalui Perpres Baru

5.1. Evolusi Sistem Sertifikasi ISPO

Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) adalah sistem sertifikasi wajib yang dirancang untuk memastikan bahwa praktik perkebunan kelapa sawit di Indonesia memenuhi standar keberlanjutan yang ditetapkan. 

Awalnya, ISPO didirikan pada tahun 2011 sebagai respons pemerintah terhadap kebijakan RED I Uni Eropa, bertujuan untuk memberikan jaminan dan kredibilitas pada produksi kelapa sawit Indonesia di pasar global. 

Landasan hukumnya diperkuat melalui Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 44 Tahun 2020 tentang Sistem Sertifikasi Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia.

5.2. Arah Baru Sertifikasi ISPO Berdasarkan Perpres 16/2025

Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2025 merupakan langkah maju yang signifikan dalam sistem sertifikasi ISPO, menunjukkan pergeseran dari fokus di hulu ke pendekatan rantai pasok yang terintegrasi dan inklusif. 

Peraturan ini merupakan penyempurnaan yang substansial, menanggapi kritik dan kebutuhan pasar yang terus berkembang.

Perpres 16/2025 memperluas ruang lingkup wajib sertifikasi dari hanya perkebunan kelapa sawit menjadi seluruh mata rantai pasok, termasuk industri hilir dan usaha bioenergi kelapa sawit. 

Perubahan ini mengindikasikan bahwa pemerintah mengakui pentingnya ketertelusuran (traceability) produk dari hulu ke hilir untuk menjamin bahwa seluruh produk berasal dari perkebunan yang berkelanjutan. 

Selain itu, Perpres baru ini secara eksplisit mengatur pembiayaan sertifikasi ISPO untuk pekebun swadaya, yang dapat bersumber dari BPDPKS, APBN, APBD, atau sumber lain yang sah. 

Ketentuan ini secara langsung mengatasi hambatan finansial yang sebelumnya menyulitkan petani kecil untuk mendapatkan sertifikasi.

Reformulasi kelembagaan ISPO juga diatur, dengan pembentukan Komite ISPO yang terdiri dari Menteri dan pimpinan lembaga terkait, asosiasi pelaku usaha, akademisi, dan pemantau independen. 

Struktur multi-pihak ini menunjukkan upaya untuk memperkuat tata kelola dan akuntabilitas sistem sertifikasi. 

Perpres 16/2025 adalah langkah transformatif yang menunjukkan keseriusan Indonesia dalam membangun sistem keberlanjutan yang lebih kuat dan holistik, menanggapi tuntutan pasar global dan tantangan internal.

Aspek

Perpres 44 Tahun 2020

Perpres 16 Tahun 2025

Ruang Lingkup Wajib Sertifikasi

Hanya Usaha Perkebunan Kelapa Sawit

Usaha Perkebunan, Industri Hilir, dan Usaha Bioenergi Kelapa Sawit

Sumber Pendanaan Pekebun

Tidak diatur secara eksplisit

Diatur secara eksplisit dari BPDPKS, APBN, APBD, dan/atau sumber lain yang sah

Ketertelusuran

Tidak diwajibkan secara spesifik

Wajib dari hulu ke hilir

Kelembagaan

Belum diatur secara detail seperti di Perpres baru

Komite ISPO yang terdiri dari multi-pihak, Unit Kerja Pendukung, dan Sekretariat

Ilustrasi sertifikat ISPO sebagai simbol komitmen kelapa sawit berkelanjutan di Indonesia

Bab 6: Tantangan dan Prospek: Menatap Masa Depan RAN-KSB

6.1. Meninjau Kembali Tantangan yang Tak Kunjung Selesai

Meskipun RAN-KSB memberikan kerangka kebijakan yang komprehensif, implementasinya di lapangan masih menghadapi masalah sistemik yang mengakar dan terus-menerus. 

Laporan investigasi dari lembaga swadaya masyarakat dan audit dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) pada tahun 2019 menemukan bahwa sekitar 81% perkebunan kelapa sawit beroperasi melanggar peraturan. 

Isu-isu seperti operasi di dalam kawasan hutan, tidak memiliki Hak Guna Usaha (HGU), dan kegagalan mengalokasikan lahan yang cukup untuk petani masih menjadi persoalan yang meluas.

Selain itu, konflik tenurial antara perusahaan dan masyarakat terus menjadi masalah yang berlarut-larut. 

Pada tahun 2020 saja, Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat 241 kasus konflik tenurial, dengan 101 kasus di antaranya didominasi oleh sektor kelapa sawit. 

Masalah struktural ini menunjukkan adanya kesenjangan yang mendalam antara narasi kebijakan yang ideal dengan realitas di lapangan. 

Keberadaan kerangka kebijakan tidak serta-merta menjamin kepatuhan. 

Tantangan sesungguhnya terletak pada penegakan hukum, reformasi birokrasi, dan penyelesaian masalah struktural yang telah berlangsung lama.

6.2. Menuju RAN-KSB Selanjutnya (2024-2029): Prospek dan Rekomendasi

Pemerintah telah menunjukkan komitmen untuk melanjutkan "peta jalan" ini. 

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, telah mengumumkan bahwa Rencana Aksi Nasional ini akan dilanjutkan untuk periode 2024-2029. 

Prospek perpanjangan ini memberikan harapan baru untuk mengatasi tantangan yang telah diidentifikasi dan memperkuat implementasi di masa depan.

Berdasarkan analisis terhadap tantangan yang ada, beberapa rekomendasi strategis dapat dipertimbangkan:

  • Pemerintah perlu segera menerbitkan regulasi baru untuk RAN-KSB periode 2024-2029 guna memberikan kepastian hukum dan landasan yang kuat bagi perencanaan di tingkat daerah.

  • Kebijakan pendanaan DBH Sawit perlu direvisi agar alokasinya lebih fleksibel dan berorientasi langsung pada program-program keberlanjutan yang krusial, seperti peningkatan kapasitas pekebun dan penanganan sengketa, bukan hanya pembangunan infrastruktur.

  • Kapasitas dan otoritas sekretariat RAD-KSB di daerah harus diperkuat melalui integrasi ke dalam dokumen perencanaan dan anggaran daerah (APBD), serta pemberian surat tugas resmi kepada staf pelaksana.

  • Meningkatkan koordinasi dan sinergi lintas sektor, termasuk antara pemerintah daerah, perusahaan, dan masyarakat, untuk memastikan semua pihak memiliki pemahaman dan komitmen yang sama dalam implementasi.

6.3. Kesimpulan: Jalan Panjang Menuju Sawit Berkelanjutan

Rencana Aksi Nasional Kelapa Sawit Berkelanjutan (RAN-KSB) adalah sebuah inisiatif yang ambisius dan menjadi peta jalan esensial bagi tata kelola industri kelapa sawit yang lebih baik di Indonesia. 

Kerangka kerja multi-pihak yang komprehensif ini, yang mencakup lima pilar dari penguatan data hingga sertifikasi, merupakan langkah maju yang signifikan. 

Peningkatan ini ditunjukkan dengan jelas dalam Perpres Nomor 16 Tahun 2025 yang memperluas jangkauan sertifikasi ISPO ke seluruh rantai pasok dan memfasilitasi pendanaan bagi pekebun.

Meskipun demikian, implementasi di lapangan masih merupakan sebuah proses yang kompleks dan penuh tantangan. 

Kesenjangan antara kebijakan nasional dan implementasi di tingkat daerah, ditambah dengan masalah-masalah struktural seperti legalitas lahan dan konflik sosial, menunjukkan bahwa jalan menuju keberlanjutan sejati masih panjang. 

Keberhasilan di masa depan akan sangat bergantung pada kemampuan untuk mengatasi tantangan-tantangan yang mengakar ini, memperkuat penegakan hukum, dan menerjemahkan visi kebijakan menjadi aksi nyata yang berdampak dan berkelanjutan.

Foto diskusi multi-pihak antara pemerintah, petani, dan perusahaan sawit untuk kolaborasi mengatasi tantangan keberlanjutan.

Karya yang dikutip

Posting Komentar untuk "RAN-KSB: Peta Jalan Pemerintah Menuju Sawit Berkelanjutan Indonesia"