Pendahuluan: Dua Pilar Praktik Sawit Berkelanjutan: Menavigasi Konsep HCV dan HCS
Industri kelapa sawit global tengah mengalami pergeseran paradigma yang fundamental.
Model bisnis yang sebelumnya berorientasi pada produksi masif kini dituntut untuk membuktikan kredensial keberlanjutannya secara transparan dan dapat diverifikasi.
Tuntutan ini lahir dari kesadaran kolektif pasar, investor, dan masyarakat sipil akan dampak ekspansi perkebunan terhadap lanskap tropis yang kaya akan keanekaragaman hayati dan stok karbon, serta krusial bagi penghidupan masyarakat lokal dan adat.
Dalam konteks ini, dua kerangka kerja telah muncul sebagai pilar utama yang menopang praktik agribisnis modern yang bertanggung jawab:
Pendekatan Nilai Konservasi Tinggi atau High Conservation Value (HCV) dan Pendekatan Stok Karbon Tinggi atau High Carbon Stock (HCS).
Kedua pendekatan ini bukan sekadar perangkat teknis atau jargon korporat, melainkan telah menjadi bahasa fundamental dalam dialog keberlanjutan global.
Keduanya merupakan alat utama yang digunakan oleh perusahaan untuk mengimplementasikan komitmen No Deforestation, No Peat, No Exploitation (NDPE), atau Tanpa Deforestasi, Tanpa Gambut, dan Tanpa Eksploitasi.
Komitmen NDPE telah menjadi standar de facto bagi perusahaan yang ingin mempertahankan akses pasar internasional dan lisensi sosial untuk beroperasi (social license to operate).
Dengan demikian, pemahaman mendalam terhadap HCV dan HCS menjadi prasyarat mutlak bagi setiap pemangku kepentingan di sektor kelapa sawit.
Perkembangan kerangka kerja ini sendiri mencerminkan sebuah proses pematangan dalam gerakan sawit berkelanjutan.
Awalnya, konsep HCV yang dikembangkan pada akhir 1990-an untuk sektor kehutanan berfokus pada perlindungan nilai-nilai spesifik.
Namun, pendekatan ini tidak secara eksplisit melarang pembukaan hutan sekunder yang tidak memiliki atribut HCV tertentu.
Menyadari celah ini, pendekatan HCS dikembangkan sekitar tahun 2011, secara spesifik untuk mengatasi komitmen "tanpa deforestasi" dengan menyediakan metodologi untuk membedakan hutan dari lahan terdegradasi.
Seiring waktu, pasar dan masyarakat sipil menuntut standar yang lebih ketat, mendorong konvergensi kedua pendekatan ini menjadi sebuah metodologi penilaian terpadu.
Puncak dari evolusi ini adalah ketika penilaian terpadu HCV-HCSA menjadi persyaratan wajib dalam Prinsip dan Kriteria (P&C) Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) pada tahun 2018.
Transformasi ini menandakan pergeseran dari upaya konservasi yang bersifat sukarela dan parsial menjadi sebuah prasyarat standar yang tidak dapat ditawar dalam rantai pasok global.
Hal ini menunjukkan bahwa standar industri tidaklah statis; ia responsif terhadap kemajuan ilmu pengetahuan dan tekanan pemangku kepentingan yang semakin meningkat.
Integrasi ini lahir dari kesadaran bahwa melindungi "nilai" spesifik (HCV) tidaklah cukup tanpa melindungi ekosistem hutan dan penyimpan karbon yang lebih luas (HCS), sehingga menciptakan benteng yang jauh lebih kokoh dan holistik terhadap deforestasi.
Artikel ini bertujuan untuk menyajikan sebuah panduan komprehensif yang membedah konsep HCV dan HCS secara mendalam.
Pembahasan akan dimulai dari landasan teoretis, metodologi penilaian, perannya dalam kerangka sertifikasi, hingga tantangan kompleks dalam implementasinya di lapangan, khususnya dalam konteks Indonesia.
Dengan demikian, laporan ini diharapkan dapat mendemistifikasi jalan menuju praktik perkebunan kelapa sawit yang benar-benar berkelanjutan.
Bab 1: Mendefinisikan Nilai Konservasi Tinggi (HCV): Melampaui Batas Perkebunan
Pendekatan Nilai Konservasi Tinggi (HCV) adalah sebuah metodologi sistematis yang dirancang untuk mengidentifikasi dan melindungi nilai-nilai biologis, ekologis, sosial, atau budaya yang dianggap memiliki signifikansi luar biasa atau kepentingan kritis pada tingkat nasional, regional, maupun global.
Konsep ini pertama kali dikembangkan dalam konteks sertifikasi kehutanan oleh Forest Stewardship Council (FSC) pada tahun 1999, namun relevansinya dengan cepat meluas ke berbagai sektor komoditas lain, termasuk kelapa sawit.
Kekuatan utama dari pendekatan HCV terletak pada sifatnya yang holistik, yang tidak hanya berfokus pada keanekaragaman hayati, tetapi juga mencakup jasa ekosistem, kebutuhan dasar masyarakat, dan identitas budaya.
Pendekatan HCV diimplementasikan melalui proses tiga langkah yang sistematis: identifikasi (penilaian), pengelolaan, dan pemantauan.
Proses identifikasi itu sendiri merupakan kegiatan komprehensif yang melibatkan studi awal berbasis data sekunder (desktop screening), pengumpulan data lapangan, dan yang terpenting, konsultasi mendalam dengan para pemangku kepentingan, termasuk masyarakat lokal dan adat.
Enam Kategori Nilai Konservasi Tinggi (HCV)
Kerangka kerja HCV secara spesifik mengidentifikasi enam kategori nilai yang harus dilindungi.
Keenam kategori ini memberikan cakupan yang komprehensif untuk memastikan tidak ada nilai penting yang terabaikan dalam perencanaan tata guna lahan.
HCV 1: Keanekaragaman Spesies. Kategori ini merujuk pada area yang memiliki konsentrasi keanekaragaman hayati yang signifikan, termasuk keberadaan spesies endemik, serta spesies langka, terancam, atau hampir punah (Rare, Threatened, or Endangered - RTE). Dalam konteks perkebunan sawit di Indonesia, ini bisa berarti habitat penting bagi satwa ikonik seperti Orangutan Sumatera, Gajah Sumatera, atau Harimau Sumatera.
HCV 2: Ekosistem Skala Lanskap. Nilai ini mencakup ekosistem skala lanskap yang luas dan signifikan, seperti hutan utuh (Intact Forest Landscapes - IFL) atau mosaik ekosistem yang masih mampu menampung populasi mayoritas spesies asli dalam pola distribusi dan kelimpahan alaminya. Contohnya adalah blok hutan besar yang berfungsi sebagai koridor satwa liar yang menghubungkan dua kawasan konservasi.
HCV 3: Ekosistem dan Habitat Langka atau Terancam Punah. Kategori ini berfokus pada ekosistem, habitat, atau refugia (area perlindungan) yang langka, terancam, atau hampir punah. Contoh yang sangat relevan di Indonesia adalah ekosistem hutan rawa gambut, hutan kerangas, atau ekosistem karst di atas batuan gamping.
HCV 4: Jasa Ekosistem Kritis. Nilai ini mengidentifikasi area yang menyediakan jasa ekosistem dasar dalam situasi kritis. Contohnya termasuk daerah tangkapan air yang vital bagi pasokan air bersih masyarakat di hilir, atau lereng curam dengan tanah rentan yang perlindungan vegetasinya sangat penting untuk mencegah erosi dan tanah longsor.
HCV 5: Kebutuhan Dasar Masyarakat. Kategori ini secara eksplisit mengakui ketergantungan masyarakat lokal atau masyarakat adat terhadap sumber daya alam. HCV 5 mencakup situs dan sumber daya yang fundamental untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka, seperti mata pencaharian, kesehatan, nutrisi, dan air. Area ini harus diidentifikasi melalui keterlibatan aktif dengan komunitas terkait, misalnya area perburuan tradisional, lokasi mencari ikan, atau kebun subsisten.
HCV 6: Nilai Budaya. Kategori terakhir ini melindungi situs, sumber daya, habitat, atau lanskap yang memiliki signifikansi budaya, arkeologis, atau historis, serta yang memiliki kepentingan kritis bagi identitas budaya tradisional masyarakat lokal atau adat. Contohnya bisa berupa situs pemakaman leluhur, hutan keramat, atau area yang digunakan untuk upacara adat, yang identifikasinya juga wajib dilakukan bekerja sama dengan masyarakat setempat.
Penyertaan HCV 5 dan HCV 6 secara fundamental mengubah proses penilaian HCV dari sekadar latihan ekologis menjadi sebuah negosiasi sosio-politik yang kompleks mengenai hak atas tanah dan akses terhadap sumber daya.
Definisi resmi untuk kedua kategori ini secara tegas menyatakan bahwa identifikasi harus dilakukan "melalui keterlibatan dengan komunitas atau masyarakat adat".
Ini bukan sekadar konsultasi pasif, melainkan menuntut partisipasi aktif dari masyarakat untuk mendefinisikan apa yang bernilai bagi mereka.
Hal ini secara langsung bersinggungan dengan klaim tanah adat (hak ulayat) dan sistem pengelolaan sumber daya tradisional yang seringkali tidak diakui dalam sistem hukum formal Indonesia.
Konsekuensinya, seorang asesor HCV tidak bisa hanya memetakan hotspot keanekaragaman hayati dari citra satelit.
Mereka juga harus berperan sebagai ilmuwan sosial, memfasilitasi dialog, memetakan nilai-nilai sosial, dan memahami dinamika kekuasaan lokal.
Proses ini menanamkan prinsip Persetujuan Atas Dasar Informasi Awal Tanpa Paksaan atau Free, Prior, and Informed Consent (FPIC) ke dalam metodologi itu sendiri.
Jika diimplementasikan dengan buruk, penilaian HCV 5 dan 6 dapat memicu atau memperburuk konflik lahan yang sudah ada.
Sebaliknya, jika dilakukan dengan baik, proses ini dapat menjadi mekanisme yang kuat untuk pengakuan hak-hak masyarakat dan resolusi konflik.
Hal ini menjadikan kualitas dan integritas komponen penilaian sosial menjadi sangat krusial dan seringkali menjadi titik paling menantang dalam keseluruhan proses.
Tabel 1: Rincian Enam Kategori Nilai Konservasi Tinggi (HCV)
Kategori HCV | Definisi Resmi | Contoh dalam Konteks Perkebunan Sawit di Indonesia |
---|---|---|
HCV 1 | Konsentrasi keanekaragaman hayati yang signifikan (spesies endemik, langka, terancam, atau hampir punah). | Habitat jelajah Orangutan (Pongo sp.), Harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae), atau kawasan bersarangnya Rangkong Gading (Rhinoplax vigil). |
HCV 2 | Ekosistem skala lanskap yang luas dan signifikan secara global, regional, atau nasional. | Blok hutan dataran rendah yang masih utuh dan terhubung dengan taman nasional, berfungsi sebagai koridor satwa. |
HCV 3 | Ekosistem, habitat, atau refugia yang langka, terancam, atau hampir punah. | Hutan rawa gambut dengan kubah gambut dalam, ekosistem hutan di atas batuan ultrabasa, atau hutan kerangas. |
HCV 4 | Jasa ekosistem dasar dalam situasi kritis. | Sempadan sungai yang vital untuk mencegah erosi dan menjaga kualitas air, serta daerah tangkapan air untuk desa di hilir. |
HCV 5 | Situs dan sumber daya fundamental untuk kebutuhan dasar masyarakat lokal. | Hutan desa sebagai sumber kayu bakar dan rotan, sungai sebagai lokasi utama penangkapan ikan, atau mata air untuk kebutuhan air minum. |
HCV 6 | Situs yang krusial bagi identitas budaya tradisional masyarakat lokal. | Areal pemakaman leluhur, hutan keramat (tanah adat), atau situs bersejarah yang diidentifikasi bersama masyarakat adat. |
Bab 2: Mengukur Stok Karbon Hutan (HCS): Memetakan Lahan untuk Konservasi
Jika pendekatan HCV berfokus pada identifikasi "nilai-nilai" spesifik, maka Pendekatan Stok Karbon Tinggi (HCS) menyediakan metodologi praktis untuk mengoperasionalkan komitmen "tanpa deforestasi".
Pendekatan ini dikembangkan untuk mengisi celah penting yang tidak secara eksplisit ditangani oleh kerangka HCV, yaitu pencegahan konversi semua jenis hutan, termasuk hutan sekunder yang mungkin tidak memiliki atribut HCV tetapi masih menyimpan sejumlah besar karbon dan keanekaragaman hayati.
Tujuan utamanya adalah untuk membedakan secara ilmiah antara kawasan hutan yang harus dilindungi dan lahan terdegradasi yang dapat dipertimbangkan untuk pembangunan.
Istilah "Stok Karbon Tinggi" itu sendiri merujuk pada konsentrasi karbon dalam jumlah besar yang tersimpan dalam biomassa vegetasi (batang, cabang, daun, akar) dan tanah di kawasan hutan.
Dengan melindungi hutan-hutan ini, perusahaan secara langsung berkontribusi pada mitigasi perubahan iklim dengan mencegah pelepasan karbon dioksida ke atmosfer.
Metodologi Stratifikasi Lahan HCS
Inti dari Pendekatan HCS adalah metodologi stratifikasi tutupan lahan yang menggabungkan analisis citra satelit dengan pengukuran plot lapangan untuk memvalidasi data.
Proses ini mengklasifikasikan vegetasi ke dalam enam kelas yang berbeda, yang merepresentasikan gradien dari hutan lebat hingga lahan terbuka.
Keenam kelas lahan tersebut adalah :
Hutan Kerapatan Tinggi (High Density Forest - HK3): Hutan tua atau hutan sekunder yang telah pulih dengan baik, memiliki kanopi yang rapat dan struktur hutan yang kompleks. Kelas ini memiliki stok karbon dan keanekaragaman hayati tertinggi.
Hutan Kerapatan Sedang (Medium Density Forest - HK2): Hutan sekunder yang lebih muda atau sedikit terdegradasi, dengan kanopi yang kurang rapat dibandingkan HK3. Masih menyimpan stok karbon dan nilai keanekaragaman hayati yang signifikan.
Hutan Kerapatan Rendah (Low Density Forest - HK1): Hutan yang telah terdegradasi secara signifikan, seringkali merupakan sisa-sisa hutan dengan pohon-pohon yang lebih jarang.
Hutan Regenerasi Muda (Young Regenerating Forest - BT): Lahan yang sebelumnya dibuka namun kini ditumbuhi kembali oleh vegetasi hutan muda. Dianggap sebagai tahap awal suksesi hutan.
Semak Belukar (Scrub - BM): Lahan yang didominasi oleh semak, perdu, dan sedikit pohon muda. Stok karbon dan keanekaragaman hayatinya sangat rendah.
Lahan Terbuka/Kosong (Cleared/Open Land - LT): Lahan yang sebagian besar telah dibersihkan dari vegetasi berkayu, seringkali hanya ditutupi oleh rumput atau alang-alang.
Berdasarkan metodologi ini, empat kelas pertama (HK3, HK2, HK1, dan BT) umumnya diidentifikasi sebagai "hutan HCS" yang harus dilindungi.
Lahan yang masuk dalam kategori Semak Belukar (BM) dan Lahan Terbuka (LT) dianggap sebagai lahan terdegradasi yang berpotensi untuk dikembangkan, setelah mempertimbangkan nilai-nilai HCV dan hak-hak masyarakat.
Setelah patch atau petak-petak hutan HCS diidentifikasi, langkah selanjutnya adalah analisis viabilitas.
Analisis ini mengevaluasi apakah petak-petak hutan tersebut cukup besar, terhubung dengan baik, dan memiliki kualitas yang memadai untuk dapat bertahan dalam jangka panjang sebagai ekosistem yang berfungsi.
Hasil dari seluruh proses ini adalah sebuah Rencana Penggunaan Lahan dan Konservasi Terpadu (Integrated Conservation and Land Use Plan - ICLUP) yang menjadi panduan bagi perusahaan dalam merencanakan pengembangan dan konservasi di dalam konsesinya.
Pendekatan HCS sejatinya adalah sebuah kompromi pragmatis yang dirancang untuk menyeimbangkan antara keharusan konservasi dengan realitas pembangunan ekonomi.
Industri kelapa sawit menghadapi tekanan besar untuk terus berekspansi demi memenuhi permintaan global, namun di sisi lain terikat oleh komitmen NDPE yang semakin ketat.
Larangan total terhadap semua bentuk pengembangan menjadi tidak realistis secara ekonomi bagi banyak perusahaan dan negara produsen.
Menyadari hal ini, Pendekatan HCS, yang diinisiasi oleh para pelaku industri bekerja sama dengan organisasi non-pemerintah, menawarkan sebuah solusi praktis.
Inovasi utamanya terletak pada proses stratifikasi yang ilmiah. Pendekatan ini tidak mengatakan "dilarang melakukan pengembangan," melainkan "dilarang melakukan pengembangan di dalam jenis hutan spesifik ini."
Dengan secara eksplisit mengidentifikasi lahan terdegradasi (BM dan LT) sebagai area yang berpotensi untuk dikonversi, HCS memberikan jalan bagi ekspansi pertanian yang dapat dipertanggungjawabkan dan dipertahankan dari tuduhan deforestasi.
Hal ini menciptakan sebuah proposisi bisnis yang kuat.
Dengan mengadopsi HCS, sebuah perusahaan dapat secara proaktif mengelola risiko reputasi dan pasar terbesarnya, yaitu deforestasi.
Perusahaan dapat menunjukkan kepada pembeli, investor, dan lembaga keuangan bahwa ekspansinya dilakukan secara bertanggung jawab.
Laporan penilaian HCS menjadi dokumen uji tuntas (due diligence) yang krusial, yang dapat membuka akses terhadap pembiayaan dan mengamankan posisi dalam rantai pasok global.
Ini mengubah potensi liabilitas (memiliki lahan berhutan) menjadi sebuah masalah manajemen aset yang terstruktur, di mana sebagian lahan dialokasikan untuk konservasi dan sebagian lainnya untuk menghasilkan pendapatan, semuanya dalam kerangka kerja yang kredibel dan diakui secara internasional.
Tabel 2: Klasifikasi Lahan dalam Pendekatan Stok Karbon Tinggi (HCS)
Kelas Lahan | Deskripsi Vegetasi | Prioritas Konservasi |
---|---|---|
Hutan Kerapatan Tinggi (HK3) | Hutan tua atau hutan sekunder yang telah pulih dengan baik, kanopi rapat, struktur berlapis. | Sangat Tinggi (Wajib dilindungi) |
Hutan Kerapatan Sedang (HK2) | Hutan sekunder yang lebih muda, kanopi kurang rapat, bekas tebangan. | Tinggi (Wajib dilindungi) |
Hutan Kerapatan Rendah (HK1) | Hutan yang sangat terdegradasi, pohon jarang, banyak celah kanopi. | Tinggi (Wajib dilindungi) |
Hutan Regenerasi Muda (BT) | Lahan yang mulai ditumbuhi kembali oleh pohon-pohon muda dan vegetasi pionir. | Tinggi (Wajib dilindungi) |
Semak Belukar (BM) | Didominasi oleh semak, perdu, dan sedikit pohon muda. | Rendah (Dapat dipertimbangkan untuk pengembangan) |
Lahan Terbuka/Kosong (LT) | Lahan yang telah dibersihkan, didominasi oleh rumput, alang-alang, atau tanah terbuka. | Sangat Rendah (Dapat dipertimbangkan untuk pengembangan) |
Bab 3: Kerangka Kerja Terpadu: Sinergi Penilaian HCV-HCSA
Seiring dengan meningkatnya tuntutan akan praktik keberlanjutan yang lebih komprehensif, kedua pendekatan—HCV dan HCS—tidak lagi dilihat sebagai alat yang terpisah.
Sejak sekitar tahun 2016, keduanya telah dikonvergensikan menjadi sebuah metodologi penilaian terpadu yang dikenal sebagai penilaian HCV-HCSA.
Integrasi ini telah menjadi standar emas dan praktik terbaik global untuk perencanaan tata guna lahan yang bertanggung jawab di sektor komoditas berisiko tinggi seperti kelapa sawit.
Rasional di Balik Integrasi
Rasional di balik integrasi ini sangat logis dan kuat.
Pendekatan HCS secara efektif menjawab pertanyaan "hutan mana yang harus dilindungi?", sementara pendekatan HCV menjawab pertanyaan "nilai-nilai penting apa saja yang ada di lanskap ini?".
Nilai-nilai HCV bisa saja berada di dalam hutan HCS (misalnya, habitat spesies terancam punah di dalam Hutan Kerapatan Tinggi), namun bisa juga berada di luar kawasan hutan HCS (misalnya, situs pemakaman leluhur (HCV 6) yang terletak di area semak belukar, atau sempadan sungai (HCV 4) yang melintasi lahan terbuka).
Dengan menerapkan kedua pendekatan secara bersamaan, perusahaan dapat memastikan perlindungan yang holistik.
HCS mencegah hilangnya hutan secara umum, sementara HCV memastikan bahwa nilai-nilai spesifik yang kritis—baik ekologis maupun sosial—tetap terjaga, di mana pun lokasinya di dalam konsesi.
Sinergi ini menghasilkan rencana tata guna lahan yang jauh lebih kuat dan dapat dipertanggungjawabkan, yang secara simultan memenuhi komitmen "tanpa deforestasi" dan perlindungan hak asasi manusia serta keanekaragaman hayati.
Manual Penilaian Terpadu HCV-HCSA
Untuk memastikan bahwa penilaian terpadu ini dilakukan secara konsisten, kredibel, dan efisien, HCV Network dan HCS Approach Steering Group berkolaborasi untuk mengembangkan Manual Penilaian HCV-HCSA.
Manual ini pertama kali diperkenalkan pada tahun 2017 dan telah diperbarui pada tahun 2023 untuk merefleksikan pembelajaran dari ratusan penilaian yang telah dilakukan di lapangan.
Manual ini berfungsi sebagai referensi teknis resmi dan wajib bagi para asesor dalam melakukan pekerjaan mereka.
Manual ini menguraikan secara rinci setiap tahapan proses penilaian, mulai dari persiapan dan studi pelingkupan (scoping), penilaian lapangan penuh, hingga persyaratan pelaporan dan proses jaminan kualitas.
Prosesnya sendiri sangatlah ketat dan harus dilakukan oleh tim multidisiplin yang terdiri dari para ahli yang terkualifikasi, termasuk asesor berlisensi dari HCV Network Assessor Licensing Scheme (ALS) dan praktisi terdaftar HCS.
Tim ini biasanya terdiri dari ahli GIS dan penginderaan jauh, ahli sosial dengan keahlian fasilitasi masyarakat dan pemetaan partisipatif, serta ahli lingkungan/biologi.
Formalisasi penilaian terpadu HCV-HCSA melalui manual yang sangat teknis dan tersedia untuk umum telah melahirkan sebuah profesi baru yang terspesialisasi, yaitu asesor berlisensi.
Di saat yang sama, ini juga menciptakan sistem jaminan kualitas yang berlapis, termasuk proses tinjauan sejawat (peer review) oleh para ahli independen, yang berfungsi sebagai mekanisme swa-regulasi bagi industri.
Profesionalisasi ini memberikan kredibilitas yang signifikan terhadap proses penilaian.
Skema sertifikasi seperti RSPO dan pemangku kepentingan lainnya menuntut agar penilaian dilakukan oleh para ahli independen yang kredibel untuk memastikan objektivitas.
Untuk memenuhi kebutuhan ini, HCV Network mendirikan Assessor Licensing Scheme (ALS), dan HCSA memiliki proses jaminan kualitasnya sendiri.
Hal ini menciptakan sebuah bidang praktik yang sangat terspesialisasi.
Perusahaan tidak bisa lagi melakukan penilaian ini hanya dengan tim internal; mereka harus mengontrak asesor pihak ketiga yang berlisensi, yang tentu saja memerlukan biaya yang tidak sedikit.
Konsekuensinya memiliki dua dampak besar.
Pertama, ini membangun kepercayaan di mata pembeli hilir, investor, dan lembaga keuangan, karena laporan penilaian tidak lagi dianggap sebagai upaya greenwashing semata, melainkan sebagai laporan yang telah diverifikasi secara kredibel oleh pihak ketiga.
Kedua, ini menciptakan tantangan dan hambatan yang signifikan bagi pelaku usaha skala kecil dan menengah (UKM) serta petani swadaya.
Mereka adalah bagian krusial dari rantai pasok kelapa sawit, namun seringkali tidak memiliki sumber daya finansial maupun teknis untuk melakukan penilaian yang kompleks ini.
Kesadaran akan adanya kesenjangan ini telah mendorong berbagai inisiatif untuk mengembangkan pendekatan yang disederhanakan bagi petani kecil, sebagai upaya agar mereka tidak terpinggirkan dari rantai pasok berkelanjutan.
Bab 4: Peran Sertifikasi dalam Menegakkan Standar Keberlanjutan
Sertifikasi keberlanjutan memainkan peran sentral dalam menerjemahkan komitmen dan konsep seperti HCV dan HCS menjadi praktik yang dapat diukur dan diverifikasi di tingkat perkebunan.
Di Indonesia, dua skema sertifikasi utama yang mendominasi wacana kelapa sawit adalah Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) yang bersifat internasional dan sukarela, serta Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) yang bersifat nasional dan wajib.
Analisis kritis terhadap persyaratan HCV dan HCS dalam kedua standar ini mengungkapkan perbedaan fundamental dalam pendekatan, ketegasan, dan dampaknya terhadap produsen.
Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO)
RSPO, sebagai standar global multi-pemangku kepentingan, telah menempatkan pencegahan deforestasi sebagai inti dari kredibilitasnya.
Dalam Prinsip dan Kriteria (P&C) RSPO 2018, persyaratan terkait HCV dan HCS diperkuat secara signifikan dan menjadi salah satu pilar utamanya.
Kewajiban Penilaian Terpadu: Kriteria 7.12 secara eksplisit mensyaratkan bahwa setiap pembukaan lahan baru setelah 15 November 2018 harus didahului oleh penilaian terpadu HCV-HCS. Persyaratan ini berlaku untuk semua anggota RSPO, baik yang sudah tersertifikasi maupun yang belum, yang berencana melakukan pengembangan baru.
Metodologi Standar: RSPO mewajibkan penggunaan metodologi yang diakui secara internasional, yaitu HCSA Toolkit dan HCV-HCSA Assessment Manual. Hal ini memastikan konsistensi dan kualitas penilaian di seluruh dunia.
Asesor Berlisensi: Untuk menjamin kredibilitas, penilaian harus dipimpin oleh asesor yang telah terakreditasi dan memiliki lisensi dari HCV Network Assessor Licensing Scheme (ALS).
Dampak Terukur: Sebagai hasil dari penerapan standar yang ketat ini, sertifikasi RSPO dilaporkan telah melindungi lebih dari 466.600 hektar hutan HCV dan HCS hingga tahun 2023.
Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO)
ISPO adalah skema sertifikasi yang diamanatkan oleh pemerintah Indonesia dengan tujuan untuk meningkatkan keberlanjutan seluruh industri kelapa sawit nasional dan memastikan kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku.
ISPO menjadi wajib bagi semua perusahaan perkebunan dan akan diwajibkan bagi petani pada tahun 2025.
Fokus pada Kepatuhan Hukum: Persyaratan ISPO terkait konservasi sangat terkait erat dengan hukum dan peraturan nasional. Standar ini mewajibkan identifikasi dan pengelolaan kawasan lindung dan area yang memiliki nilai konservasi tinggi, seringkali merujuk pada regulasi pemerintah seperti Peta Indikatif Penundaan Pemberian Izin Baru (PIPPIB) untuk hutan primer dan lahan gambut.
Penyebutan HCV, Kerancuan HCS: Peraturan Presiden No. 44 Tahun 2020 yang memperkuat ISPO memang secara eksplisit menyebutkan perlunya identifikasi dan pengelolaan HCV. Namun, standar ini tidak memiliki persyaratan yang se-eksplisit dan se-tegas RSPO mengenai kewajiban melakukan penilaian HCS sebelum pembukaan lahan. Fokusnya lebih pada larangan pengembangan di hutan primer dan lahan gambut sesuai definisi pemerintah, yang mungkin tidak mencakup semua jenis hutan sekunder yang dilindungi oleh pendekatan HCS.
Ketergantungan pada Panduan Nasional: Metodologi yang digunakan untuk identifikasi HCV dalam ISPO lebih mengacu pada panduan nasional, seperti yang dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem (KSDAE), yang mungkin tidak selalu selaras sepenuhnya dengan toolkit HCV global yang digunakan oleh RSPO.
Sistem RSPO dan ISPO pada dasarnya tidak saling bersaing secara langsung, melainkan beroperasi secara paralel, mencerminkan adanya ketegangan antara tuntutan pasar global dengan kedaulatan pembangunan nasional.
RSPO berfungsi sebagai "standar emas" yang bersifat sukarela, didorong oleh para pelaku pasar global (pembeli, LSM, bank) dan dirancang untuk memenuhi persyaratan ketat dari para pemangku kepentingan internasional tersebut.
Di sisi lain, ISPO berfungsi sebagai "lantai legal" (legal floor) yang bersifat wajib, dipimpin oleh pemerintah, dan dirancang untuk meningkatkan praktik keberlanjutan di seluruh industri domestik sejalan dengan hukum dan prioritas pembangunan nasional.
Perbedaan mendasar dalam persyaratan—misalnya, mandat HCS yang eksplisit di RSPO versus ketergantungan ISPO pada panduan HCV nasional—merupakan cerminan langsung dari perbedaan asal-usul dan tujuan kedua skema tersebut.
Hal ini menciptakan sebuah realitas strategis yang kompleks bagi perusahaan kelapa sawit di Indonesia.
Untuk dapat beroperasi secara legal di dalam negeri, mereka wajib mematuhi ISPO.
Namun, untuk dapat menjual produknya ke merek-merek internasional besar atau mengakses pembiayaan dari bank-bank global, mereka harus mematuhi standar RSPO yang lebih tinggi.
Akibatnya, perusahaan-perusahaan yang paling progresif dan berorientasi ekspor akan mengejar sertifikasi ganda, dengan menggunakan standar RSPO sebagai panduan operasional utama mereka.
Ini secara efektif menciptakan pasar berjenjang (tiered market) untuk minyak sawit Indonesia, di mana produk yang "hanya" bersertifikat ISPO mungkin tidak dapat diterima di pasar-pasar yang memiliki kebijakan NDPE yang ketat.
Tabel 3: Perbandingan Persyaratan HCV/HCS: RSPO vs. ISPO
Kriteria | RSPO (P&C 2018) | ISPO (Perpres 44/2020) |
---|---|---|
Dasar Hukum | Standar global multi-pemangku kepentingan, bersifat sukarela. | Peraturan Pemerintah RI, bersifat wajib bagi seluruh pelaku usaha. |
Kewajiban Penilaian | Wajib melakukan penilaian terpadu HCV-HCSA sebelum setiap pembukaan lahan baru setelah 15 Nov 2018. | Wajib mengidentifikasi, menetapkan, dan mengelola kawasan lindung dan HCV sesuai peraturan perundangan nasional. Tidak ada mandat HCS yang eksplisit. |
Metodologi | Wajib menggunakan HCSA Toolkit dan HCV-HCSA Assessment Manual yang diakui secara internasional. | Mengacu pada panduan nasional dan peraturan terkait (misal: pedoman dari KLHK, PIPPIB). |
Kualifikasi Asesor | Penilaian harus dipimpin oleh asesor berlisensi dari HCV Network (HCVN ALS). | Tidak dispesifikasi secara ketat, namun harus dilakukan oleh pihak yang kompeten. |
Transparansi | Ringkasan laporan penilaian wajib dipublikasikan untuk tinjauan publik. | Keterbukaan informasi terbatas, lebih berfokus pada pelaporan ke lembaga sertifikasi dan pemerintah. |
Fokus Utama | Pencegahan deforestasi (termasuk hutan sekunder) dan perlindungan nilai-nilai sosial-lingkungan secara komprehensif. | Kepatuhan terhadap hukum dan peraturan lingkungan hidup di Indonesia, dengan fokus utama pada hutan primer dan gambut. |
Bab 5: Implementasi di Lapangan: Tantangan dan Peluang di Indonesia
Peralihan dari konsep teoretis dan standar sertifikasi ke implementasi praktis di lapangan menyingkapkan realitas yang jauh lebih kompleks.
Penerapan HCV-HCSA di Indonesia diwarnai oleh berbagai tantangan struktural, namun juga diiringi oleh munculnya peluang dan model-model inovatif yang menjanjikan.
Keberhasilan kerangka kerja ini pada akhirnya tidak hanya bergantung pada ketepatan teknis, tetapi juga pada kemampuan untuk menavigasi lanskap sosial, politik, dan ekonomi yang rumit.
Studi Kasus dan Model Implementasi
Studi kasus dari berbagai tingkatan—mulai dari tingkat konsesi hingga yurisdiksi—memberikan gambaran nyata tentang bagaimana HCV-HCSA diterapkan di lapangan.
Tingkat Perusahaan: Penilaian HCS yang dilakukan untuk PT Damai Agro Sejahtera di Kalimantan Barat menjadi contoh konkret dari penerapan metodologi ini. Melalui analisis tutupan lahan, analisis patch, dan survei lapangan, perusahaan berhasil mengidentifikasi dan menetapkan area konservasi seluas 5.577 hektar yang mencakup kawasan HCV dan hutan HCS. Kasus ini menunjukkan bahwa dengan komitmen dan sumber daya yang memadai, metodologi ini dapat diimplementasikan secara efektif di tingkat konsesi.
Keterlibatan Rantai Pasok: Upaya Golden Agri-Resources (GAR) dalam mendorong salah satu pemasoknya, PT Eagle High Plantations, untuk mengadopsi pendekatan HCS di Papua, menunjukkan peran penting perusahaan hilir. GAR menggunakan pengaruhnya dalam rantai pasok untuk memastikan bahwa pemasoknya juga mematuhi standar keberlanjutan, meskipun hal tersebut memerlukan biaya tambahan bagi pemasok untuk melakukan penilaian HCS. Ini adalah contoh bagaimana tekanan pasar dapat mendorong adopsi praktik terbaik ke seluruh rantai pasok.
Pendekatan Yurisdiksi: Model yang paling menjanjikan mungkin adalah pendekatan yurisdiksi atau skala lanskap, seperti yang dipelopori di Kabupaten Sintang dan Kapuas Hulu, Kalimantan Barat. Dalam model ini, pemerintah daerah, perusahaan, LSM, dan masyarakat berkolaborasi untuk melakukan pemetaan HCV-HCS di seluruh wilayah kabupaten. Hasil pemetaan ini kemudian digunakan sebagai dasar untuk perencanaan tata ruang daerah, menyeimbangkan kebutuhan pembangunan ekonomi dengan target konservasi dan pengurangan emisi. Pendekatan ini mengatasi keterbatasan penilaian per konsesi dengan melihat lanskap secara holistik.
Tantangan Struktural yang Mendasar
Meskipun terdapat kisah sukses, implementasi HCV-HCSA di Indonesia menghadapi tantangan-tantangan berat yang berakar pada isu-isu struktural.
Konflik Tenurial Lahan: Ini adalah hambatan terbesar dan paling persisten. Kerangka hukum pertanahan di Indonesia sangat kompleks, ditandai oleh tumpang tindih antara izin yang dikeluarkan negara dengan hak-hak tanah adat (ulayat) yang seringkali tidak diakui secara formal. Ketika penilaian HCV-HCSA diterapkan di atas lanskap dengan konflik tenurial yang belum terselesaikan, penetapan area konservasi dapat dipersepsikan oleh masyarakat sebagai bentuk baru perampasan tanah. Masyarakat yang telah mengelola hutan secara turun-temurun mungkin menolak area konservasi yang ditetapkan secara sepihak oleh perusahaan, yang pada akhirnya dapat menggagalkan tujuan konservasi itu sendiri.
Implementasi FPIC yang Lemah: Meskipun Free, Prior, and Informed Consent (FPIC) atau Persetujuan Atas Dasar Informasi Awal Tanpa Paksaan (PADIATAPA) adalah prinsip inti dalam penilaian HCV 5 dan 6, pencapaian FPIC yang sejati di lapangan sangatlah sulit. Seringkali terjadi ketidakseimbangan kekuatan yang signifikan antara perusahaan dengan masyarakat. Proses konsultasi bisa menjadi formalitas belaka, tanpa adanya dialog yang setara dan pemahaman penuh dari masyarakat mengenai implikasi jangka panjang dari sebuah proyek atau penetapan area konservasi.
Eksklusi Petani Swadaya: Petani swadaya, yang mengelola sebagian besar lahan kelapa sawit di Indonesia, seringkali tertinggal dalam transisi menuju keberlanjutan. Mereka tidak memiliki sumber daya finansial untuk membiayai penilaian HCV-HCSA yang mahal, kapasitas teknis untuk mengimplementasikan praktik pengelolaan yang kompleks, atau kepastian hukum atas tanah mereka yang memungkinkan partisipasi dalam rantai pasok yang menuntut nol deforestasi. Kesenjangan ini berisiko menciptakan sistem dua tingkat, di mana hanya perusahaan besar yang mampu memenuhi standar global, sementara jutaan petani kecil terpinggirkan. Menyadari risiko ini, berbagai pihak kini berupaya mengembangkan toolkit yang disederhanakan untuk membantu petani kecil mengidentifikasi dan melindungi hutan di lahan mereka.
Analisis terhadap berbagai keberhasilan dan kegagalan di lapangan mengarah pada satu kesimpulan penting: implementasi HCV-HCSA yang sukses lebih merupakan tantangan tata kelola (governance) daripada tantangan teknis pemetaan.
Metodologi teknisnya sudah mapan dan terbukti dapat dijalankan, seperti yang ditunjukkan oleh studi kasus PT DAS.
Namun, menerapkan kerangka kerja teknis ini pada lanskap dengan isu-isu sosial yang belum terselesaikan dapat menciptakan masalah yang lebih besar, di mana kerangka itu sendiri dianggap sebagai pemaksaan eksternal yang mengabaikan sistem pengelolaan lahan lokal.
Solusi yang paling menjanjikan bukanlah sekadar teknik penilaian yang lebih baik, melainkan model tata kelola yang lebih baik.
Pendekatan yurisdiksi di Sintang dan Kapuas Hulu berhasil justru karena merupakan upaya kolaboratif yang dipimpin oleh pemerintah daerah, melibatkan semua pemangku kepentingan dalam proses perencanaan tata guna lahan bersama.
Ini menunjukkan bahwa masa depan kelapa sawit berkelanjutan di Indonesia bergantung pada kemampuan untuk meningkatkan skala model tata kelola lanskap multi-pemangku kepentingan ini.
Penilaian per konsesi tetap diperlukan, tetapi tidak akan cukup.
Keberlanjutan sejati menuntut pergeseran menuju manajemen lanskap terpadu di mana perencanaan tata ruang pemerintah, komitmen perusahaan, dan hak-hak masyarakat dapat diselaraskan.
Ini adalah sebuah upaya yang jauh lebih kompleks dan berjangka panjang daripada sekadar menerbitkan sebuah laporan penilaian.
Kesimpulan: Arah Masa Depan Industri Sawit yang Bertanggung Jawab
Analisis mendalam terhadap konsep, metodologi, dan implementasi kerangka kerja HCV dan HCS menegaskan posisinya yang tak tergantikan sebagai fondasi praktik perkebunan kelapa sawit modern yang berkelanjutan.
Evolusi dari dua konsep terpisah menjadi sebuah metodologi penilaian terpadu yang kuat telah menyediakan jalur yang jelas bagi industri untuk mengimplementasikan komitmen NDPE yang semakin menjadi tuntutan pasar global.
Kerangka kerja ini, yang didukung oleh standar sertifikasi internasional seperti RSPO, telah terbukti mampu melindungi ratusan ribu hektar hutan dan ekosistem vital.
Namun, laporan ini juga menyoroti bahwa perangkat teknis yang canggih sekalipun tidak akan efektif tanpa ditopang oleh fondasi sosial dan politik yang kokoh.
Perbandingan antara standar RSPO yang digerakkan oleh pasar global dengan ISPO yang merupakan mandat kepatuhan hukum nasional menunjukkan adanya dinamika kompleks antara tuntutan internasional dan kedaulatan pembangunan domestik.
Dualisme ini membentuk strategi perusahaan dan menciptakan pasar berjenjang yang menuntut produsen untuk menavigasi standar yang berbeda untuk pasar yang berbeda.
Pada akhirnya, tantangan terbesar dalam mewujudkan keberlanjutan di sektor kelapa sawit Indonesia bukanlah bersifat teknis, melainkan sosial dan tata kelola.
Isu-isu mendasar seperti konflik tenurial lahan yang belum terselesaikan, implementasi FPIC yang belum bermakna, dan kesulitan dalam mengintegrasikan jutaan petani swadaya ke dalam rantai pasok berkelanjutan merupakan rintangan utama yang harus diatasi.
Keberhasilan kerangka HCV-HCSA tidak diukur dari kualitas petanya, melainkan dari kemampuannya untuk diimplementasikan secara adil dan diterima oleh semua pemangku kepentingan di lapangan.
Masa depan industri sawit yang bertanggung jawab terletak pada pergeseran paradigma dari kepatuhan di tingkat konsesi menuju manajemen kolaboratif di tingkat lanskap.
Inisiatif yurisdiksi yang dipelopori di beberapa daerah di Indonesia menawarkan cetak biru yang menjanjikan, di mana pemerintah daerah, sektor swasta, dan masyarakat sipil bekerja sama untuk menyelaraskan tujuan ekonomi dengan perlindungan lingkungan dan penghormatan terhadap hak-hak masyarakat.
Teknologi seperti pemetaan geospasial skala besar dan kecerdasan buatan akan semakin meningkatkan efisiensi pemantauan, namun tidak akan pernah bisa menggantikan pentingnya dialog dan keterlibatan sosial yang tulus di tingkat tapak.
Perjalanan menuju kelapa sawit berkelanjutan, pada hakikatnya, adalah perjalanan menuju tata kelola yang lebih baik.
Keberlanjutan sejati hanya akan tercapai ketika manfaat ekonomi dari konservasi dapat dirasakan secara adil, ketika biaya kepatuhan tidak membebani aktor paling rentan dalam rantai pasok, dan ketika hak-hak masyarakat lokal dan adat diakui sebagai elemen sentral, bukan sebagai tambahan, dalam setiap perencanaan pembangunan.
Karya yang dikutip
- The use of the High Conservation Value (HCV) and High Carbon Stock (HCS) approaches by palm oil companies assessed on SPOTT
- Identifying High Carbon Stock (HCS) Forest for Protection
- What is the High Carbon Stock Approach?
- IndoAgri Sustainable Palm Oil Policy
- A technical comparison of the HCV and HCS approaches
- Introduction to High Conservation Values
- The High Carbon Stock Approach: an update
- High Conservation Values (HCV)
- Pembaruan Prinsip dan Kriteria RSPO 2018
- HCV Approach
- Achieving Zero Deforestation with the HCV and HCS Approach
- Land conflicts complicate effort to spare forests from palm oil in Borneo
- Palm Oil Risk Assessment Indonesia - Kalimantan
- highcarbonstock.org
- High Carbon Stock Approach Foundation: Innovation in Putting No Deforestation into Practice
- Promoting Conservation Efforts in Oil Palm Plantations
- HCS & HCV
- HCV-HCSA Assessment Manual (2023)
- HCV-HCSA Assessment - High Carbon Stock Approach
- Continuous improvement approach for better focus, clarity and efficiency: The 2023 HCV-HCSA Assessment Manual
- A Quick Guide to the HCV-HCSA Assessment Manual (2023)
- Pedoman Penilaian NKT-SKT
- High Conservation Value
- HCS Study Project Title: - High Carbon Stock Assessment of PT
- Case Study - Helping our supplier strengthen forest conservation practices in Papua
- TABEL PERBANDINGAN ISPO 2020 DAN RSPO 2018
- Menyeimbangkan konservasi dengan pembangunan ekonomi di negara-negara dengan tutupan hutan tinggi di Afrika - Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO)
- Integrated HCV-HCSA assessments Code of the Document
- COMPARATIVE TABLE OF ISPO 2020 AND RSPO 2018
- RSPO dan HCVN Memajukan Perlindungan Nilai Konservasi Tinggi untuk Minyak Sawit Berkelanjutan
- RSPO and HCVN To Advance High Conservation Value Protection for Sustainable Palm Oil
- What are the changes in the new ISPO certification system? Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO)
- ISPO certification for smallholders: process and challenges Key points
- THE COMPARISON OF ISPO AND RSPOCERTIFICATION
- Upgrade of Indonesian palm oil certification falls short, observers say
- HCV-HCS Screening Case Study: Kapuas Hulu District (Indonesia)
- Collaborative Conservation: How Sintang is Building a Sustainable
- What land use conflict management has to do with sustainable palm oil
- Engaging with High Conservation Value (HCV) screening: a guide
- TANTANGAN KEBERLANJUTAN PEKEBUN KELAPA SAWIT RAKYAT DI KABUPATEN PELALAWAN, RIAU DALAM PERUBAHAN PERDAGANGAN GLOBAL
- Smallholder participation in zero-deforestation supply chain initiatives in the Indonesian palm oil sector: Challenges, opportunities, and limitations
- TOOLKIT PENDEKATAN SKT-NKT YANG DISEDERHANAKAN UNTUK PETANI KECIL DI INDONESIA
- TRIALLING OF THE SIMPLIFIED HCS-HCV APPROACH FOR SMALLHOLDERS IN SANGGAU AND SEKADAU DISTRICTS, WEST KALIMANTAN, INDONESIA
- Large-scale mapping of HCVs and HCS forest for Sumatra Island, Indonesia – an input to the new Hamurni tool for supply chain mapping and traceability
Posting Komentar untuk "Memahami Konsep HCV dan HCS dalam Praktik Perkebunan Sawit Modern"
Silahkan bertanya!!!
Posting Komentar