Aspek Keberlanjutan dan Lingkungan

Aspek Keberlanjutan dan Lingkungan

Isu Lingkungan dan Dampak Perubahan Iklim

Ilustrasi Dampak Lingkungan Deforestasi Akibat Perkebunan Kelapa Sawit

Ekspansi perkebunan kelapa sawit, meskipun memberikan manfaat ekonomi, berpotensi menimbulkan berbagai isu lingkungan. 

Dampak negatif yang teridentifikasi meliputi produksi limbah cair dari pengolahan CPO, deforestasi hutan, peningkatan emisi karbon, dan perubahan iklim.

Perubahan iklim secara spesifik berdampak pada produktivitas tanaman (melalui perubahan pola curah hujan, peningkatan suhu, dan cuaca ekstrem), kualitas hasil panen, serta kondisi sosial-ekonomi pekebun.

Peningkatan suhu akibat perubahan iklim dapat mempercepat pematangan buah, namun menghasilkan buah dengan kualitas yang lebih rendah.

Selain itu, suhu yang lebih hangat dan kelembaban tinggi menciptakan kondisi ideal bagi hama dan patogen untuk berkembang biak, meningkatkan risiko penyebaran hama dan penyakit tanaman.

Pembukaan lahan baru untuk penanaman kelapa sawit, terutama pada fase tanaman muda, dapat meningkatkan suhu permukaan lokal dan menyebabkan efek "pulau panas".

Meskipun perkebunan kelapa sawit yang telah dewasa (berumur lebih dari 11 tahun) cenderung mengembalikan suhu lokal mendekati kondisi hutan sekunder, dampak awal pembukaan lahan tetap menjadi perhatian. 

Penekanan pada dampak lingkungan dari ekspansi kelapa sawit (deforestasi, emisi, limbah) menunjukkan perlunya pergeseran dari pertumbuhan ekstensif (perluasan lahan) ke pertumbuhan intensif (peningkatan produktivitas di lahan yang ada) untuk mencapai keberlanjutan. 

Untuk pekebun kecil, mencapai keberlanjutan berarti tidak hanya mengadopsi praktik-praktik baik di lahan yang ada, tetapi juga berpartisipasi dalam program seperti PSR untuk mengganti pohon yang tidak produktif, sehingga meningkatkan hasil tanpa memerlukan pembukaan lahan baru. 

Hal ini sejalan dengan tujuan yang lebih luas dari kelapa sawit berkelanjutan.

Implementasi Praktik Budidaya Berkelanjutan (ISPO)

Untuk mendorong praktik berkelanjutan, pemerintah Indonesia mewajibkan penerapan sertifikasi Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO) bagi seluruh perkebunan kelapa sawit, termasuk perkebunan rakyat, dengan target penyelesaian pada tahun 2025.

Kebijakan ini merupakan bagian dari Rencana Aksi Nasional Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan (RAN-KSB) 2019-2024.

Namun, implementasi ISPO bagi pekebun kecil menghadapi beberapa tantangan:

  • Kesenjangan Kapasitas: Terdapat kesenjangan kapasitas petani dalam memenuhi prinsip-prinsip berkelanjutan ISPO.
  • Kelembagaan Petani: Sekitar 80% pekebun kelapa sawit mandiri belum tergabung dalam gabungan kelompok tani (Gapoktan) atau koperasi. Padahal, kelembagaan petani yang kuat sangat penting untuk meningkatkan posisi tawar petani terhadap perusahaan dan memfasilitasi akses terhadap dukungan.
  • Legalitas Lahan: Masalah keterlanjuran keberadaan kebun kelapa sawit di dalam kawasan hutan negara dan lambatnya penerbitan sertifikat tanda daftar budidaya (STD-B) menjadi hambatan.

Sertifikasi ISPO, meskipun diwajibkan, memerlukan penguatan kelembagaan yang mendalam bagi pekebun kecil. 

Tantangan bahwa 80% pekebun kecil mandiri tidak tergabung dalam kelompok tani menunjukkan masalah yang lebih dalam: kepatuhan ISPO bagi pekebun kecil secara inheren membutuhkan penguatan kelembagaan (misalnya, pembentukan koperasi atau kelompok tani). 

Ini merupakan prasyarat penting untuk tindakan kolektif, akses terhadap dukungan, dan peningkatan daya tawar, yang semuanya vital untuk kelangsungan hidup pekebun kecil. 

Oleh karena itu, keberhasilan ISPO bagi pekebun kecil sangat bergantung pada upaya pemerintah dan pemangku kepentingan untuk memfasilitasi pembentukan dan pemberdayaan kelembagaan petani, serta menyediakan pelatihan dan dukungan finansial untuk pengembangan organisasi ini, bukan hanya kepatuhan teknis.

Pengelolaan Limbah dan Konservasi

Pengelolaan limbah dan praktik konservasi merupakan bagian integral dari keberlanjutan perkebunan kelapa sawit. 

Pabrik pengolahan CPO menghasilkan limbah cair yang dapat menimbulkan biaya eksternal bagi masyarakat.

Namun, industri kelapa sawit juga memiliki potensi besar untuk menerapkan prinsip ekonomi sirkular.

Salah satu praktik terbaik yang sedang dikembangkan adalah pengomposan tandan kosong kelapa sawit (EFB) menjadi pupuk organik berkualitas tinggi.

Praktik ini tidak hanya membantu dalam pengelolaan limbah, tetapi juga mengurangi ketergantungan pada pupuk kimia anorganik, menjaga kelembaban tanah, dan meremajakan tanah.

Selain itu, upaya konservasi juga meliputi pembangunan sistem resapan dan pintu air untuk melestarikan air, pelaksanaan tindakan konservasi tanah dan anti-erosi, serta penanaman tanaman yang bermanfaat untuk mengurangi gulma dan hama.

Integrasi pupuk dan irigasi melalui fertigasi tetes juga telah berhasil diuji coba untuk mengurangi defisit air akibat musim kemarau.

Pemanfaatan limbah cair dari pabrik CPO dan praktik pengomposan tandan kosong kelapa sawit menyoroti prinsip ekonomi sirkular. 

Bagi pekebun kecil, yang mungkin tidak memiliki akses ke pengolahan limbah skala besar, mengubah limbah organik mereka sendiri (seperti tandan kosong jika mereka memiliki akses ke pabrik kecil atau bahkan limbah pangkasan) menjadi kompos menawarkan manfaat ganda: pengelolaan limbah dan pengurangan biaya pupuk eksternal.

Hal ini secara langsung mengatasi biaya pemupukan yang tinggi.

Oleh karena itu, mempromosikan praktik pengomposan yang sederhana dan mudah diakses serta teknologi limbah-menjadi-sumber daya di kalangan pekebun kecil dapat meningkatkan ketahanan ekonomi dan jejak lingkungan mereka, sejalan dengan tujuan keberlanjutan.

Selanjutnya.....

Risiko dan Tantangan Utama

Posting Komentar untuk "Aspek Keberlanjutan dan Lingkungan"